MALANG – Kasus dugaan penganiayaan yang dilaporkan ke Polsek Kromengan, Polres Malang, akhirnya diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice. Proses mediasi dan gelar perkara digelar di ruang Reskrim Polsek Kromengan pada Jumat (4/7/2025), dan menghasilkan kesepakatan damai antara pelapor dan terlapor.
Perkara ini bermula dari laporan RD (23), warga Kecamatan Kepanjen, yang mengaku menjadi korban pengeroyokan oleh sekelompok orang di wilayah Dusun Cupak, Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan, pada 29 Mei 2025 lalu. Belakangan pengeroyokan didasari kesalahpahaman antar pemuda yang disangka pelaku pencopetan.
Setelah melalui proses penyelidikan dan pemanggilan para terlapor, kedua belah pihak menyatakan sepakat menyelesaikan masalah secara damai dan mengajukan permohonan penghentian penyelidikan.
“Polres Malang melalui Polsek Kromengan memfasilitasi mediasi dan gelar perkara yang berujung pada perdamaian. Ini merupakan bentuk nyata dari implementasi keadilan restoratif sesuai arahan pimpinan Polri,” ujar Kasatreskrim Polres Malang, AKP Muchammad Nur, saat dikonfirmasi, Senin (14/7/2025).
Ia menambahkan bahwa penghentian perkara dilakukan setelah seluruh syarat formal dan materiil restorative justice terpenuhi, mulai dari surat perdamaian, pencabutan laporan, hingga pertimbangan bahwa kasus ini tidak berdampak konflik sosial dan bukan kasus pengulangan atau pelanggaran berat.
“Tujuan utama dari Restorative Justice adalah menciptakan keadilan yang berkeadaban, mencegah dendam berkepanjangan, dan menjaga harmoni di masyarakat. Selama syarat-syaratnya terpenuhi, ini menjadi solusi alternatif yang kami tempuh,” tegas AKP Nur.
Dalam kronologi yang disampaikan, korban mengaku dipukuli oleh delapan orang tak dikenal usai menyaksikan pertunjukan kesenian bantengan. Meski sempat melarikan diri, korban kembali diserang oleh pelaku lainnya yang memukul hingga bibirnya pecah.
Namun setelah proses penyelidikan berjalan, baik pelapor maupun para terlapor akhirnya menempuh jalur damai. Hal ini kemudian menjadi dasar penghentian penyelidikan demi hukum.
Namun demikian, AKP Muchammad Nur juga menepis isu yang disebarkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang menyebut adanya “nilai nominal fantastis” dalam proses Restorative Justice tersebut. Ia menegaskan, kepolisian tidak terlibat dalam hal-hal yang bersifat ganti rugi atau kompensasi antara pelapor dan terlapor.
“Kami perlu meluruskan bahwa kesepakatan antara pelapor dan terlapor terkait adanya ganti rugi bukan wewenang kepolisian. Kami tidak ikut campur dalam kesepakatan tersebut karena fokus utama Polri hanya pada penanganan perkara secara hukum,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya menolak adanya narasi seolah-olah penyelesaian perkara dilakukan dengan transaksi. Proses mediasi berjalan murni atas dasar perdamaian dari kedua belah pihak dan memenuhi seluruh syarat formil maupun materiil Restorative Justice yang ditetapkan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021.
“Kami mengingatkan semua pihak, untuk tidak membangun opini liar yang dapat menyesatkan publik dan menciderai semangat penyelesaian damai yang telah disepakati secara sah oleh para pihak,” tegas AKP Nur.
Polres Malang memastikan bahwa keputusan ini sudah melewati tahapan dan mekanisme yang ketat, serta menjadi bagian dari pembaruan sistem penegakan hukum yang lebih humanis.
“Kami tetap berkomitmen menegakkan hukum secara adil. Namun ketika ada ruang damai dan para pihak sepakat, maka kami prioritaskan penyelesaian secara restoratif agar tidak memperpanjang konflik,” pungkas AKP Muchammad Nur. (*)
Discussion about this post